52views, 2 likes, 0 loves, 0 comments, 2 shares, Facebook Watch Videos from Petruk Blusukan: Ini jahiliah menurut Cak Nun

Konsep Negara dan Relevansi terhadap NKRI Perspektif Emha Ainun NadjibKajian berikut ini relatif baru dilakukan karena mengetengahkan konsep negara dan pemerintah berdasarkan pemikiran Cak Nun. Selain sebagai penelitian awal, apa yang ditulis oleh Muh. Ainun Najib Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Budy Sugandi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, dan Ismail Suardi Wekke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong penting dikemukakan karena belum banyak dilakukan tidak menurut temuan mereka pemikiran Cak Nun tersebut dinilai mampu memberikan wacana alternatif tentang pandangan negara, pemerintah, dan kekuasaan di peneliti menyodorkan dua hasil. Pertama, Cak Nun berpendapat pentingnya pembedaan antara lembaga negara dan lembaga pemerintahan, termasuk distingsi kepala negara dan kepala pemerintah supaya terwujud kejelasan sekaligus kestabilan pemimpin serta kepemimpinan hendaknya menguasai medan di lapangan secara utuh dengan kualitas keilmuan yang dimiliki. Itulah sebabnya, komprehensi harus menjadi prasyarat seorang pemimpin agar tidak sekadar sebatas perpanjangan partai, golongan, maupun itu diambilnya dari sejumlah penelusuran tekstual maupun verbal Cak Nun. Sejauh pengamatan peneliti, Cak Nun bukan hanya memiliki modal sosial sebagai basis pengaruh, melainkan juga konsep-konsep yang salah satunya membicarakan negara dan kekuasaan. Otoritasnya, dengan kata lain, adalah tokoh masyarakat sekaligus cendekiawan yang punya pengaruh besar di masyarakat di satu pihak dan seorang penulis produktif di pihak lain. Tulisan dan tuturan itu dipakainya sebagai medium komunikasi kepada masyarakat pengetahuan yang Cak Nun sampaikan sarat akan kritikan. Kritik tersebut adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Penyampaian kritik, baginya, merupakan perwujudan cinta Cak Nun terhadap negara. “…[i]ngin memberikan sumbangsih sebuah pemikiran politik mengenai sebuah konsep negara yang bagus menurutnya untuk dijalankan oleh Indonesia kedepannya” hlm. 280.Tanpa kritik kekuasaan cenderung dijalankan secara korup. Apalagi selama ini Cak Nun memandang akar kegaduhan berikut permasalahan negara mendasar belakangan tak terlepas dari “segi mengonsep negara”. Disadari atau tidak, bila masalah paling elementer saja belum selesai, problem sertaan yang mengiringi tidak akan permasalahan yang dihadapi itu meliputi ketidakjelasan kedudukan negara dan pemerintah. Distribusi kekuasaan pun berjalan sengkarut. Memang, sejauh dicatat peneliti, negara Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan presidensial tak ada pemisahan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Belum lagi perbedaan itu disandingkan dengan posisi rakyat, betapa semakin lengkap dan kentara kegamangan berikutnya berhilir pada konsentrasi kepatuhan seseorang yang malah mengacu kepada atasan atau pemerintah, bukan Undang-Undang Negara yang sifatnya substansial. Benih-benih feodalisme, dengan demikian, masih menghunjam kuat di tubuh aparatus kekuasaan, sekalipun ruh demokrasi terus direproduksi di tiap mimbar. Masalah ini semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan penyebutan pegawai negeri sipil karena sebetulnya mereka tak ubahnya pegawai sipil berikut turunan paling bawah seharusnya mengabdi kepada rakyat. Namun, praktik selama ini justru sebaliknya. Rakyat malah harus menghamba kepada birokrat, baik level kelurahan, kecamatan, kebupatian, kegubernuran, kementerian, maupun kepresidenan. Cak Nun berargumen bahwa mereka seharusnya patuh kepada konstitusi dan rakyat semestinya diposisikan tinggi. Betapapun tanpa rakyat mereka bukanlah yang dinilai sebagai bentuk pemerintahan paling baik pun tak luput menuai paradoks. Ia ideal di tatataran ide tapi belum tentu di ranah faktual. Apalagi pertimbangan jumlah rakyat yang di Indonesia terkesan kurang memadai bila hanya dijawab demokrasi sebagai solusi permasalahan. Demokrasi akan efektif dijalankan dalam konteks rakyat yang tidak bejibun sebagaimana di luar itu semua apa yang hendak dibicarakan Cak Nun adalah pentingnya, “beda antara keluarga dengan rumah tangga, antara kepala keluarga dengan kepala kepala rumah tangga, termasuk antara almari kas negara dengan laci kas rumah tangga, juga antara bendahara dengan kasir,” catat peneliti hlm. 282. Pembagian ranah kekuasaan ini sesungguhnya menggarisbawahi bagaimana negara dan pemerintah memiliki cakupan yang berlainan. Keduanya seharusnya memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Tidak malah dijalankan sekaligus oleh presiden, baik sebagai kepala negara maupun Cak Nun tersebut tidak jauh dari masalah manajerial. Ia praktis mengidap disfungsi manakala logika keorganisasian saja tidak dipertimbangkan. Pertanyaan berikutnya, apakah pendiri bangsa tidak memprediksi masalah sistemis atas implikasi dari penyamaan negara dan pemerintah? Bukankah mereka berlatar belakang kaum terdidik Eropa? Pertanyaan ini mau tidak mau memerlukan kajian lebih lanjut karena sudah memasuki wilayah sejarah berdirinya sayangnya hanya mengulas sekilas pada subbagian Sejarah Sistem Pemerintahan Indonesia. Kurangnya porsi pembahasan seputar genealogi sistem kenegaraan Indonesia membuat kajian mereka masih terkesan sepintas lalu. Kendati demikian, tetap perlu ditengok untuk menunjukkan sejauh mana konteks historis turut membentuk sistem kenegaraan hari Republik ini berdiri sistem yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Adanya Konferensi Meja Bundar KMB mengubah peta sistem dan politik negeri, sehingga atas “pengakuan” kerajaan Belanda atas kedaulatan Indonesia tanpa syarat berikutnya terlahir Republik Indonesia Serikat RIS. Berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus RIS membuat sistem pemerintahan Indonesia menjadi parlementer. Walau praktik di lapangan tak sepenuhnya dijalankan dan karenanya waktu itu disebut sebagai “parlementer semu” hlm. 282. Tahun 1950 kemudian lahir Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959. Berakhirnya UUDS ditandai oleh keluarnya Dekrit Presiden Soekarno. Bung Besar mengintroduksi demokrasi Soekarno baik tapi sebagian besar kalangan menilai bila “demokrasi terpimpin” diterapkan maka akan terjebak pada absolutisme—suatu pemusatan kekuasaan yang melampaui batas dan akan mengingkari cita-cita demokrasi. Wakil Presiden Hatta sampai mengundurkan diri. Soekarno jamak dikritik, khususnya oleh Bung Hatta dari luar Soekarno kelihatannya luhur sebab demokrasi terpimpin masih diperlukan karena sangat khas Indonesia. Sementara itu, menurutnya rakyat Indonesia masih berada di tengah situasi revolusi “pasca-fisik” sehingga gagasan Soekarno dianggap paling di balik propaganda Sang Putra Fajar terbentang permasalahan ekonomi dan politik yang amat serius harga bahan pokok membumbung, nilai rupiah anjlok, aparatus militer kurang solid. Daftar masalah masih bisa diperpanjang sampai masalah pembubaran partai, pembredelan media, dan lain sistem pemerintahan selalu diiringi oleh dinamika kekuasaan. Peneliti membatasi pada kerangka tonggak-tonggak yang terjadi selama kurun waktu lebih dari setengah abad berdirinya Republik Indonesia. Terlepas dinamika internal maupun eksternal, apa yang perlu dicatat di sini perihal konsep pemikiran Cak Nun tentang kenegaraan adalah kembalinya esensi baldatun thoyyibatun warobbun ghafur yang di Jawa senada dengan pengertian tata tentrem kerja raharja hlm. 285.Selain diperlukan distingsi negara dan pemerintah, Cak Nun menggarisbawahi bahwa negara harus menciptakan ketenteraman bagi masyarakatnya. “Urusan negara sebaiknya tidak hanya mengandalkan para politisi dan para aktivis pergerakan, sebab itu hanya masalah hukum, konstitusi dan kekuasaan. Dalam mengurus negara, harus mau melihat sejarah yang memerlukan seorang begawan, kaum brahmana, butuh panembahan dan butuh rohaniawan, dulu disebutnya sebagai DPA Dewan Pertimbangan Agung” hlm. 28.Pilar yang menjaga bangsa dan negara, menurut Cak Nun, harus konfiguratif dengan kedalaman, ketinggian, dan kekuataan seluruh elemen. Ia mewedar enam pokok. Pertama, rakyat sebagai bangunan pokok sebuah negara. Kedua, TNI sebagai pertahanan. Ketiga, intelektual yang meliputi pelajar, seniman, akademisi, maupun para ahli di bidang spesifik lainnya. Keempat, adat dan budaya. Kelima, kekuatan yang dijelaskan para peneliti dalam kajian ini cukup memadai. Paling tidak sudah mendeskripsikan lokus pemikiran Cak Nun seputar negara dan pemerintah, walaupun masih terkesan kurang rinci sebab melupakan satu hal. Salah satunya perkara pihak di luar negara dan pemerintah yang memiliki otoritas kekuasaan nonformal oligarki sebetulnya sering diwacanakan Cak Nun, baik di esai maupun di mimbar Maiyahan, meski beliau lebih memakai istilah “pemodal” sebagai faktor penentu jalannya kekuasaan dewasa ini. Andaikata penelti turut mengelaborasi bagiaman konsep Cak Nun terhadap persoalan oligarki, saya kira kajian yang dilakukan akan membicarakan negara, pemerintah, dan aparatus kekuasaan tidak mungkin tidak menyebut faktor ekonomi-politik di belakangnya? Oligarki ini menurut Robison dan Hadiz 2004 sudah menubuh ke dalam struktur politik di Indonesia. Membicarakan negara dan pemerintah, dengan demikian, semestinya jangan melupakan jeratan oligarkis di partai politik maupun parlemen. caknun ceramah sedulur papat . ILMU SEDULUR PAPAT PENJAGA GAIB. March 31, Amaliyah itu lebih mudah bagi saya dalam memahaminya sekaligus mencari referensinya.Sedangkan amaliyah yang berbahasa daerah sangat sukar bagi saya dalam mengartikannya.Paradigma ini terpatahkan ketika saya mulai mondok di jawa tengah dan bergaul dengan kawan Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Memperbincangkan Allah tidak ada habisnya, tidak ada jeluntrungnya. Karena setiap kejadian tidak lepas dari iradat Allah, baik maupun buruknya perbuatan. Setiap hari semesta selalu menyenandungkan asma Allah sebelum sang surya tiba menunaikan hajatnya berkunjung ke bumi. Nama Allah bergemuru dan bergema di puncak langit membangunkan makhluk sejagat raya, lalu secara bersama-sama semesta memandu dengan indah seperti kelompok padus paduan suara internasional bahkan lebih kompak dan indah terdengar di telinga manusia. Hal tersebut tidaklah cukup untuk menggambarkan kesyahduan asma Allah jika dilafadzkan oleh hari terakhir ini, aku gunakan sedikit waktu Allah untuk membaca buku karya Cak Nun, seorang budayawan yang hampir semua karyanya membicarakan Allah. Salah satu karya beliau berjudul "Kiai Hologram", di dalamnya memuat berbagai macam curhatan Cak Nun tentang kehidupan di dunia ini. Mulai dari urusan yang receh dan remeh-temeh sampai dengan urusan besar dan fundamental menyangkut urusan dunia terurai dan dapat diatasi dengan guyunan nan apik dan berkelas yang mampu membuka satir kebohongan para elit krucil dan global. Kebohongan yang terselip di dasi para pejabat dan di dalam akal para individu, bahkan pemuka agama sekaligus sudah mampu terdeteksi oleh kecanggihan akal manusia. Adapun alat yang dapat menyerupai ialah artificial intelegency, dalam buku tersebut menyatakan bahwa benda mati dapat menyerupai manusia dalam hal kecerdasan, sehingga sudah tidak mungkin manusia melakukan kebodohan atas kehidupannya, apalagi sampai melupakan Allah dalam tindak tanduk perbuatannya. Sebagai manusia biasanya yang sudah terlanjur membaca buku beliau dan menikmati pemikirannya tentang hakikat kehidupan, maka barangpasti mendapat petunjuk bahkan hidayah dari buku tersebut. Salah satu contoh dari cerita tentang seseorang yang berpuasa untuk negara Indonesia karena kasihan melihat negaranya sedang dilanda banyak masalah. Mungkin dengan berpuasa Allah bisa memberi keringanan atau bahkan menghilangkan masalah-masalah di negaranya. Lalu seseorang tersebut ditanggapi oleh Cak Nun, yang mengatakan bahwa tidak perlu repot-repot berpuasa untuk Indonesia, yang benar adalah puasa untuk Allah saja. Sebuah narasi pendek yang sangat menohok pendengar. Negara Indonesia sama seperti manusia, mempunyai takdir baik ataupun buruk. Manusia tidak perlu khawatir berlebihan akan negaranya, serahkan saja pada Allah yang Maha Mengatur segala urusan. Lebih baik manusia mengurus urusannya sendiri saja, biar negara Allah yang mengurusnya. Jangan berburuk sangka jika Allah malah mencelakahkan negaranya demi kepentingan Allah sendiri, itu tidak mungkin. Makmur tidaknya suatu negara, Allah tidak mendapatkan keuntungan atau kerugian. Bagi Allah yang terpenting makhluknya hidup di bumi dengan aman dan damai. Itupun juga jika manusia patuh dan tak sembrono menghadapi kehidupan. Intinya pasrah sama Allah saja segala urusan, sebagai manusia cukup berusaha semampunya perbincangan di atas antara Allah, hamba dan negara, maka tentu tidak ada akhirnya karena alam semesta ini dapat berbuat apa saja dan mungkin secara tiba-tiba dan membuat para penghuninya terkejut. Tidak perlu was-was berlebihan, jika kata para petuah dan beberapa penceramah agama bahwa was-was adalah kerjaannya syaiton yang sedang berusaha menyesatkan anak adam untuk berpaling dari Allah. Jika perasaan was-was atas hal apapun yang belum terjadi itu tidak segera dihilangkan, maka akan sangat berbahaya. Sebab hal tersebut bisa saja memengaruhi orang lainnya agar bersikap demikian. Manusia cenderung mempercayai ucapan seseorang apabila dalam keadaan genting dan terdapat sedikit fakta yang itu belum tentu fakta melainkan hanyalah tipu daya dan dugaan sementara, tidaklah lain itu datang dari setan. Untuk itu sikap yang baik adalah melawannya, dengan tetap menanamkan sikap berbaik sangka dan percaya bahwa Allah akan mengurus semua urusan manusia dan alam semesta ini dengan baik. Bagaimana mungkin Allah sebagai pencipta alam raya ini berbuat tidak adil dengan menyulitkan Nun dalam bukunya selalu menamkan mindset kepada para pembacanya bahwa sebagai seorang yang tidak punya kuasa dan tak ada daya untuk melakukan kehendaknya, maka perlu campur tangan Allah dan hanya Allah yang mempunyai hak prerogatif atas semua yang terjadi. Manusia hanya perlu menikmati hidupnya dengan sebaik-baiknya, tidak perlu memikirkan hal di luar kuasanya. Sungguh bacaan yang asyik untuk dinikmati dengan suguhan secangkir kopi ataupun teh panas di tengah hiruk pikuk dunia. Lihat Humaniora Selengkapnya
PendulumJilbab. Belum lama ini Yogyakarta dihebohkan oleh kasus seorang siswa sekolah menengah yang di- bully oleh lingkungan sekolah negeri karena belum mau mengenakan jilbab. Karena tekanan bulliying ini demikian hebat membuat pelajar sekolah menengah ini trauma dan mengunci dalam kamar mandi sehingga diperlukan pendampngan psikologi untuk
Sleman, NU OnlineMaraknya kelompok-kelompok minoritas yang dengan murah mengobral istilah-istilah seperti bid’ah, haram, dan bahkan mengkafirkan orang-orang di luar kelompoknya, membuat Emha Ainun Nadjib yang kerap disapa Cak Nun angkat acara bertajuk “Ngaji Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng” di lapangan Baratan Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Jumat 04/10, Cak Nun menjelaskan beberapa tradisi keagamaan yang biasa dilakukan waraga NU dan kerap dianggap bid’ah oleh beberapa kelompok, seperti Tahlilan, Yasinan, Kenduri, dan Sholawatan. Cak Nun mengawali dengan menjelaskan tentang Tahlilan. Secara bahasa, Tahlil memiliki makna menyatakan Allah sebagai Tuhan dengan ucapan Laa ilaaha illallah. Sedangkan Tahlilan, di dalamnya mengandung unsur budaya, yakni kegiatan yang sering diadakan untuk mendoakan secara bersama-sama orang yang telah meninggal. Kalimat Laa ilaaha illah itu sendiri ada lanjutannya, yaitu Muhammadun Rasulullah. Artinya bahwa di dalam tradisi Tahlilan, tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, melainkan juga mengakui bahwa semua adalah ciptaan dan rahmat Allah SWT. “Yang tidak boleh itu jika Tahlilan di dalam sholat. Batasannya yang penting Tahlilan bukan dianggap sesuatu yang wajib, itu yang tidak boleh. Tahlil itu wajib, kalau Tahlilan itu yang tidak wajib,” tandas Cak tradisi Yasinan, Cak Nun menganalogikannya dengan berkata, “Lawong membaca koran saja boleh kok, apalagi membaca Yasin yang merupakan salah satu surah di dalam Al-Qur’an,” ujar Cak Nun yang segera disambut gelak tawa para Kenduri merupakan wujud syukur seseorang dengan cara memberikan sedekah berupa makanan kepada tetangganya, asalkan tidak memberatkan dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang wajib, apalagi jika sampai hutang tetangga untuk melaksanakannya. “Jadi yang mau ngadakan Kenduri ya monggo, yang tidak juga monggo,” ucap Cak Cak Nun menjelaskan tentang tradisi Sholawatan dan puji-pujian yang banyak dilakukan di Masjid-masjid. Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman “Innallaha wa malaikatahu yusholluna alan nabi, ya ayyuhalladzina amanu shollu alihi wa sallimu tasliman”.Jadi, lanjutnya, Allah dan malaikatNya saja sudah nyata-nyata bersholawat kepada Nabi Muhammad, maka manusia yang hanya seorang hamba tentu juga tidak ada masalah jika bersholawat kepada Nabi.“Tidak apa-apa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi, asalkan tidak melanggar syari’at. Bid’ah itu kan ketika ibadah mahdhah yang berjumlah lima yakni Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji itu ditambah-tambah atau diubah, di luar lima itu silahkan, tidak apa-apa. Ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang ibadah mahdhah hanya 3%, sisanya 97% itu tentang ibadah mu’amalah,” papar Cak Nun panjang Cak Nun menekankan bahwa boleh tidaknya sesuatu itu terletak pada niatnya. Barang baik, lanjutnya, jika tidak diletakkan pada tempat yang tidak sesuai maka akan dapat menjadi tidak itu, Cak Nun juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu. Menurut Cak Nun, sekarang ini sedang ada tiga negara besar dengan sokongan dana melimpah yang sedang ingin menghancurkan Indonesia. Mereka mengirimkan agen-agen untuk melakukan infiltrasai ke tengah warga Islam di Indonesia. Menurut dia, tujuan mereka sangat jelas, yaitu ingin memecah persatuan umat Islam di Indonesia untuk kepentingan Cak Nun menyampaikan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak mengkafirkan orang lain, “Tidak ada yang berhak mengkafirkan seseorang kecuali Allah, karena yang tau orang itu kafir atau tidak hanya Allah,” pungkasnya di hadapan ribuan hadirin dari warga desa dan elemen Muspida Sleman malam itu. Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib

Dalamceramahnya, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun nggak jarang menggunakan kata-kata yang sangat rakyat j "Belajar Agama Kok Sama Budayawan, Cak Nun..!" Halaman 3 - Kompasiana.com

– Pada saat digelar akad atau resepsi pernikahan, sering kali kita mengatakan “semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah“. Emha Ainun Najib atau Cak Nun menyampaikan dalam kajiannya, di Alquran disebutkan bahwa kata “Sakinah” merupakan kata benda sedangkan dalam kata kerja berarti dari kata “Sakinah” sendiri tenang, misalnya laki-laki yang litaskunu ke istrinya dan Litaskunu illa atau Litaskunufihi Litaskunufiha. Perbedaannya, jika Allah SWT memberi siang dan malam maka Allah mengatakan, “supaya engkau taskunu fi lail masuk dengan tenang ke dalam istirahat malam”.Hal itu, dikatakan Cak Nun adalah sesuatu yang pasif. Kemudian, manusia juga diberi mawaddah di dalam diri kita. Litaskunufi, itu sesuatu yang pasif dan statis. Namun jika pernikahan, itu bukanlah litaskunufi tetapi litaskunu ila.“Jadi sakinah itu tujuannya, bukan keadaannya. Jadi begini, kalau Sakinah itu semoga, tapi kalau mawaddah warahmah itu sudah pasti sehingga tidak bisa digabungkan semoga sakinah mawaddah warahmah,” kata Cak Nun dalam mengucapkan doa untuk mempelai atau diri kita sendiri dalam pernikahan, hendaknya tidak meminta mawaddah warahmah. Kedua kata ini sudah Allah tanamkan dalam diri Warahmah Sudah Allah Beri dalam Diri ManusiaKata mawaddah warahmah sendiri merupakan alat manusia dalam mencapai sakinah sehingga hal itu tidak perlu diminta kembali. Allah SWT telah menurunkan mawaddah warahmah ke dalam diri manusia untuk mencapai Sakinah dalam pernikahan tangga ibarat hendak mengolah bahan makanan. Di sana ada mawaddah sebagai kompornya, rahmah sebagai wajannya dan isinya tergantung yang ingin mengolahnya, yaitu sakinah. Pun dalam pernikahan, suami-istri telah mengantongi mawaddah warahmah untuk mencapai sendiri merupakan magnet di dalam hati suami dan magnet di dalam hati istri. Dengan kata lain sebagai kecenderungan dan dorongan untuk terus menerus menyatu. Rahmah adalah kasih sayang di dalam hati yang ada di seluruh alam raya beserta isinya ini.“Sakinah itu tujuan yang belum pasti. Tidak setiap hari suami istri merasakan sakinah, ada bumbu-bumbu seperti ngambek, tidak menyapa. Maka, kamu menikah di dunia ini diniatkan nantinya resepsi di akhirat karena di dunia hanya sementara. Diniatkan ketika bersuami istri akan sampai ke surga-Nya,” ungkap Cak Nun. Videoyang berjudul PSHT menurut Cak Nun lorrr dipublikasikan oleh Channel PSHT Rayon Kepoh dengan Channel ID UCItq-kpvNItbdhWnA20Ah2Q pada 24 04 2018 - 12:47:51. Video Terkait Video PSHT menurut Cak Nun lorrr [LIVE] SMK1NG SINAU BARENG CAK NUN & KYAI KANJENG Dalam rangka tasyakuran SMK Negeri 1 Ngasem Ke-9 Bertempat di Lapangan SMK Negeri 1
Karakteristik Agama Islam Waqi’iyyah Karakteristik Islam Waqi’iyyah Waqi’iyyah Artinya realisme. Islam diturunkan untuk berinteraksi dengan realitas-realitas obyektif yang nyata-nyata ada sebagaimana ia adanya. Selain itu ajaran-ajarannya didesign sedemikian rupa yang memungkinkannya diterapkan secara nyata dalam kehidupan manusia. pengertian karakter waqiyyah Ia bukan nilai-nilai ideal yang enak dibaca tapi tidak dapat diterapkan. Ia merupakan idealisme yang realistis, tapi juga realisme yang adalah realitas obyektif yang benar-benar wujud dan wujud-Nya diketahui melalui ciptaan-Nya dan kehendak-Nya diketahui melalui gerakan alam. Alam dan manusia juga realitas obyektif. “Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Yang memiliki sifat-sifat demikianlah ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling. Dia menyingsingkan pagi dan manjadikan malam untuk beristirahat, dan menjadikan matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” QS 6 95-96 Tapi konsep Islam juga didesign sesuai dengan realitas obyektif manusia, kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya, hambatan internal dan eksternalnya, potensi ril yang dimiliki manusia untuk menjalani hidup. Islam memandang manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya; dengan ruh, akal dan fisiknya; dengan harapan-harapan dan ketakutannya; dengan mimpi dan keterbatasannya. Lalu berdasarkan itu semua Islam menyusun konsep hidup ideal yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata manusia dengan segenap potensi yang bukan idealisme yang tidak mempunyai akar dalam kenyataan. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”.QS 2 286.
. 258 459 299 494 400 195 335 220

wahidiyah menurut cak nun